MAENA – BUKAN BAGIAN DARI RITUS PENYEMBAHAN PATUNG

MAENA – BUKAN BAGIAN DARI RITUS PENYEMBAHAN PATUNG

Klarifikasi dari Yayasan Pusaka Nias

oleh Romanus Tolona Giawa

(Gunungsitoli-MPN, 12 Desember 2022)

Pengantar

Seminggu ini, pihak Yayasan Pusaka Nias (YPN) ditanyai oleh beberapa pihak tentang isu yang beredar bahwa dalam buku terbitan YPN terindikasikan bahwa MAENA berasal dari ritus penyembahan patung [leluhur]. Peristiwa apa dan pembicaranya siapa bukan lagi hal yang perlu diperdebatkan. YPN menghargai cara menginterpretasi dari pihak-pihak yang telah membaca buku “MAENA NIAS. Sarana Penyampaian Pesan dan Kisah Hidup Orang Nias” (Gunungsitoli: YPN, 2018; hlm. i-viii & 1-181). Tetapi kegelisahan beberapa pihak tentang isu yang meresahkan itu perlu ditanggapi secara obyektif agar tidak terjadi kesimpangsiuran serta kesalahpahaman di masa mendatang. Berikut ini klarifikasi dari YPN.

Muatan Teori Bagian Pertama Buku MAENA NIAS

Buku MAENA NIAS terbitan YPN ini meliputi dua bagian: (I) Maena dalam teori dari para kontributor (Romanus Tolona Giawa & Amonius Halawa; Sorayana Zebua; Romo Karl Edmund Prier) dan (II) Kumpulan Syair Maena yang terdiri dari 147 gubahan. Sebelum dua bagian besar ini, P. Johannes M. Hämmerle, OFMCap (Ketua YPN dan Tim Penyusun MAENA NIAS) sudah membubuhkan pengantar tentang terminologi Maena dan Laria serta proses terjadinya buku MAENA NIAS (hlm. i-iii).

Dari manakah Maena Nias menurut para kontributor dalam bagian pertama itu? Bagian pertama MAENA NIAS disunting oleh Direktur Museum Pusaka Nias (MPN), Bpk. Nata’alui Duha. Kontributor pertama, Amonius Halawa (musisi lulusan Pusat Musik Liturgi Yogyakarta) yang tulisannya telah digabungkan dengan tulisan Romanus T. Giawa, mencatat: “… maena adalah jenis lagu rakyat yang disertai tarian.” (hlm. 1). Dalam konsep yang masih sama setelah merangkum beberapa sumber, Romanus menjelaskan bahwa: “Tarian Maena adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Tarian ini termasuk jenis tarian rakyat yang dilakukan secara bersama-sama atau massal.” (hlm. 3).

Selanjutnya, tulisan Sorayana Zebua (hlm. 10-14) – yang dirangkum oleh Bpk. Nata’alui Duha – menerangkan bahwa kata maena itu merupakan hasil dari pemendekkan ungkapan “simane na manari ndra inada” ke “mane na” dan akhirnya “maena”. Menurut beliau, maena pada awalnya hanya ditarikan dalam pesta adat seperti falöwa, owasa (tahödödö, folau omo, famatörö töi). Benar bahwa Bpk. Sorayana menuliskan salah satu pokok klasifikasi maena ialah Maena yang dilaksanakan Lembaga Gereja. Dengan kata lain, maena memang memperkaya nuansa ritus religi/agama dalam konteks Kristen (Maena Paskah, Maena Natal, Maena Yubileum, Maena Fangamoni’ö Osali dll.). Hal ini juga sudah diterangkan oleh Romanus berkaitan dengan praktik dalam Gereja Katolik (melalui Komisi/Biro Liturgi), yang telah menggubah Maena Natal dan Maena Wamakao Zo’aya di dalam Fangowasaini Luo Zo’aya (hlm. 2).

Yang agak menantang ialah tulisan dari Romo Karl Edmund Prier SJ (hlm. 15). Beliau merupakan guru/maestro Musik Liturgi Gereja Katolik di Indonesia dan Pendiri Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta. Romo Prier, sapaan familiarnya, mengatakan bahwa Maena sekarang ini berbeda sekali dengan ekspresi Maena terdahulu yang gerakannya berfomula lingkaran bulat. Dengan menggunakan kata ‘mungkin’, Romo Prier menerangkan lagi bahwa “Maena mungkin merupakan suatu konsesi bagi Umat Protestan, supaya dapat menghindari ‘tarian dan nyanyian kafir’”. Lebih tajam lagi, Romo Prier berkomentar: “Maena merupakan musik yang kurang bermutu dan lebih berpotensi menghancurkan musik tradisional Nias asli jika terus dikembangkan.” Kalau ditelisik lebih detail, beliau berpendapat demikian karena sumber-sumber yang ditemukan beliau adalah tulisan Jaap Kunst (tahun 1930-an) dan Philip Yampolsky (tahun 1990-an). Sementara P. Johannes sudah mengutip arti Maena dari kamus karya Sundermann terbitan 1905.

Penulis sebelum Kamus Nias-Jerman dari Sundermann, yakni Elio Modigliani (Un Viaggio a Nias; 1886) tidak menulis apa-apa tentang Maena. Begitu juga dengan Schröder yang menulis tentang Nias dari sisi Etnografis, Geografis dan Historis (Leiden:1917). Ia menulis tentang kata ‘maina’ (= maena) pada paragraf 783 demikian: “Kringzang (N. maina). Deze werd nooit door mij waargenomen.” (Nyanyian/Bernyanyi Keliling/Melingkar [Utara: maina]. Keterangan tentang kata ini tidak saya ketahui). A. Pieper juga sudah menulis teks-teks Maena dengan berbagai variasi namun belum memberi penjelasan apa-apa di sana (Realienboek, 1923:171-179 pada nomor 77). Jaap Kunst secara khusus telah menulis Music in Nias (Leiden: E.J. Brill, 1939). Istilah yang ia pakai bukan Maena tapi Maina (hlm. 10 dan 16). Ia menjelaskan bahwa Maina adalah “songs when dancing in a circle” (nyanyian saat bergoyang/menari dalam sebuah lingkaran) serta “Three variations of one phrase used in a round song” (Tiga variasi dari satu frase yang digunakan dalam sebuah nyanyian berentetan/bersahut-sahutan).

Dugaan dan Kesimpulan YPN: Ada Kekurangtepatan Tafsir

Isu yang baru menyebar bahwa Maena berasal dari ritus penyembahan patung [leluhur] diduga oleh YPN merupakan tafsir yang kurang tepat dari pembaca, yang kemungkinan agak terburu-buru mengutip sumber dari buku MAENA NIAS terbitan YPN. Para kontributor memang mengakui bahwa Maena adalah tarian rakyat Nias yang telah mengalami perkembangan. Namun para kontributor tidak pernah mengutarakan bahwa ritus penyembahan patung adalah asal-usul Maena. Harus dipertegas bahwa Maena sebagai TARIAN RAKYAT NIAS tidak sama dengan Maena berasal dari ritus penyembahan patung [leluhur].

Kekurangtepatan tafsir yang telah dilontarkan baru-baru ini diduga kuat terjadi karena adanya ketidaksepahaman atas istilah ‘tarian rakyat’ (dari tulisan para kontributor) dan ‘nyanyian kafir’ yang dihindari oleh Umat Protestan pada lagu-lagu berbaur budaya yang sudah dilarang oleh para misionaris (menurut Romo Prier, yang sudah disinggung oleh P. Johannes dalam pengantar). Perlu dicamkan baik-baik: larangan para misionaris terhadap tarian dan lagu-lagu kultural klasik Nias tidak berkaitan dengan ritus penyembahan patung, melainkan hanya karena ada unsur budayanya.

Dengan demikian, YPN menyimpulkan bahwa Maena Nias merupakan Tarian Rakyat Nias asli yang berkembang dari tarian dan lagu-lagu klasik Nias sendiri dan telah berumur lebih dari 100 tahun (bdk. kamus Sunderman yang memuat kata Maena pada tahun 1905). Maena Nias tidak ada hubungannya dengan penyembahan patung [leluhur]. Pengembangan Maena Nias dalam nuansa Kekristenan merupakan kreativitas positif dalam beriman, yang dalam Gereja Katolik merupakan bagian dari Inkulturasi (peresapan Injil ke dalam budaya-budaya setempat).

Demikianlah klarifikasi ini. Buku Maena Nias masih tersedia di Museum Pusaka Nias. Silakan beli dan baca. Isu yang meresahkan di atas kita jadikan sebagai rahmat tak terduga (a blessing in disguise) agar kita lebih mendalami Maena sebagai harta pusaka Pulau Nias kita. Buku Maena Nias merupakan sarana pendalaman berharga yang telah diterbitkan oleh YPN. Ya’ahowu!

Download Artikel di sini:

MAENA BUKAN BAGIAN DARI RITUS PENYEMBAHAN PATUNG

Post a comment