KEGIATAN KAMI
Koleksi
Museum ini memiliki koleksi yang berjumlah lebih 6.000 artefak dan hanya sebagian dari koleksi itu yang dipamerkan di ruangan pameran. Pengelolaan dan pelestarian koleksi merupakan inti dari kegiatan Museum Pusaka Nias. Karena alasan ini, yayasan ini didirikan pada tahun 1991.
Sebagian besar artefak dalam koleksi adalah benda budaya, sejarah atau seni yang membantu pengunjung memahami tentang kehidupan masa lalu di Pulau Nias. Benda-benda yang penting dari koleksi, termasuk senjata dan perlengkapan perang, perhiasan dan pakaian, benda-benda keagamaan dan upacara, alat musik dan barang sehari-hari rumah tangga. Untuk tingkat yang lebih kecil koleksi juga termasuk benda yang berhubungan dengan biologi dan lingkungan di Nias.
Sejarah Pengadaan Koleksi
Koleksi ini dimulai oleh Pastor Johannes M. Hämmerle, seorang rohaniwan Gereja Katolik yang tiba di Pulau Nias pada tahun 1971 sebagai anggota dari Ordo Kapusin. Bulan-bulan pertamanya di Pulau Nias dihabiskan untuk menyesuaikan diri dan sekaligus mempelajari situasi masyarakat. Dalam proses itu, hampir setiap hari ada saja warga yang datang kepada beliau untuk menawarkan barang-barang antik milik mereka. “Mau beli pastor? Tolong pastor, anak saya butuh uang untuk sekolah dan beli pakaian.” Ya, tapi saya tidak perlu barang ini. Saya pastor, bukan agen barang antik. Mohon maaf.” Demikian percakapan yang sering terjadi antara warga dan pastor itu. “Baiklah pastor. Kalau pastor tidak mau beli kami akan menjualnya ke seberang!”
Kemiskinan dan ekonomi warga yang sangat buruk memaksa mereka menjual segala harta. Dan yang sangat praktis adalah benda-benda pusaka yang dianggap tidak perlu lagi. Awalnya Pastor Johannes enggan untuk membeli, tapi segera menemukan bahwa ada pembeli dan agen di kota-kota di mana penduduk setempat bisa menjual pusaka mereka. Jauh sebelum beliau datang, rupanya ada orang asing dan para makelar benda-benda pusaka beraksi secara bebas. Kalau orang itu menjual kepada agen-agen, barang-barang yang sungguh bernilai itu akan meninggalkan Pulau Nias. Nias tidak akan memiliki apa-apa. Orang Nias tidak akan bisa belajar lagi pengetahuan dan kearifan para leluhurnya. Orang Nias bisa jadi akan bingung untuk mengenal dirinya sendiri. Lalu mereka tidak memiliki identitas yang membuat mereka sendiri tidak percaya diri di tengah pembauran sosial dan kebudayaan dari luar. Untuk sekarang ini mereka butuh uang untuk bertahan hidup, tapi kelak mereka akan menyesal telah kehilangan hartanya yang paling berharga, yaitu bukti eksistensi diri dan cermin diri mereka sendiri.
Pada akhirnya Pastor Johannes memutuskan untuk membeli barang-barang itu dari warga untuk melindungi warisan budaya Nias. Celakanya, ketika mulai membeli dengan penuh pergumulan, semakin banyak juga yang menawarkan. Selama bertahun-tahun mengumpul benda-benda, pastor ini susah payah mencatat informasi dan sejarah di balik setiap benda. Dari tahun ke tahun jumlah barang itu semakin bertambah. Menjadi persoalan kemudian karena tak ada tempat penyimpanan barang-barang itu. Belum lagi perawatan dan pendataannya.
Museum
Pada tahun 1990 Gereja Katolik Ordo Kapusin Regio Sibolga setuju untuk mendukung mendirikan Museum. Yayasan ini didirikan pada tahun 1991 dan gedung induk Museum Pusaka Nias dibangun pada tahun 1995. Bersamaan dengan itu pula, pameran sementara dibuka untuk publik dengan menggunakan sebagian ruangan darurat. Sejak itu, lambat laun kompleks museum ini ditata hingga saat seperti sekarang ini. Ruangan Pameran saat ini dibangun pada tahun 2005. Tak diduga-duga gempa bumi dahsyat terjadi pada 28 Maret 2005 dan banyak vitrin serta barang yang dipamerkan dan artefak rusak. Hari ini empat paviliun besar memamerkan pilihan barang dari koleksi. Sebelah ruang pameran adalah fasilitas penyimpanan modern di mana koleksi tersisa disimpan. Hari ini artefak dilindungi untuk menghindari kerusakan selama gempa bumi yang sering terjadi di Pulau Nias.
Akhirnya peresmian dilaksanakan pada 18 Nopember 2008 oleh anggota Dewan Pertimbangan Presiden Letjen Purn. TB. Silalahi dan Bupati Nias Binahati B. Baeha, SH. Dana untuk ruangan pameran dan gedung penyimpanan koleksi diberikan dengan murah hati oleh The Prince Claus Fund (Belanda). Pameran ini dirancang oleh staf Museum yang dibantu oleh relawan Gabby Rupanner dan Amelie Gottier dari program ASA (Jerman).
Pengelolaan Koleksi
Pelestarian koleksi bagi generasi masa depan membawakan banyak tantangan, terutama di lingkungan tropis seperti Nias. Koleksi ini ditangani oleh para staf yang telah menimba pengetahuan dan pengalaman di bidang koleksi dan managemen museum, baik dalam negeri maupun di luar negeri. Setelah mendapat pelatihan singkat pada tahun 2003 dari Dr. Chirstina Kreps bersama dua orang mahasiswi jurusan museologi dari Universitas Denver–Kolorado, Amerika; Heather Ahlstrom dan Caterine Fitzgerald pada tahun 2003, koleksi museum ini secara perlahan mulai ditangani dengan rapi. Setelah itu, Nata’alui Duha (Direktur museum sekarang) mengikuti pelatihan manajemen museum dan koleksi selama empat bulan pada jurusan Antropologi Unversitas Denver pada tahun 2004 atas bantuan The Ford Foundation dan Asian Cultural Council - New York. Selain belajar di universtias, ia juga magang di museum dan mengobservasi pengelolaan beberapa museum di sana. Selain itu, atas dukungan dari Ford Foundation dan Prince Claus Fund, Nata’alui Duha melakukan pengamatan dan studi banding pengelolaan museum di Eropa, diantaranya: di Belanda, Jerman dan Denmark. Semua pengalaman dan keahlian ini telah dibagikan kepada seluruh staf Museum Pusaka Nias melalui pelatihan internal. Untuk meningkatkan sumber daya manusia di museum, pada tahun 2010, Nata’alui Duha mengikuti Field School mengenai “Intangible Cultural Heritage and Museum” di Thailand atas bantuan The Princes of Maha Chakri Sirindhorn Anthropology Center dan UNESCO Bangkok.
Untuk meningkatkan keahlian di bidang konservasi koleksi, Nata’alui Duha dan Faozisökhi Laia mengikuti pelatihan konservasi di lembaga German-Cambodia Conservation School di Phnom Penh dan Seam Reap atas bantuan Ministry of Culture and Fine Art of Cambodia, Embassy of the Federal Republic of Germany in Phnom Penh, Memot Center For Archaeology and German Apsara Conservation Project pada 2014. Secara khusus Faozisökhi Laia belajar konservasi dan administrasi koleksi di Museum für Völkerkunde Dresden-Jerman pada tahun 2010. Para staf juga belajar secara otodidak dari Jan Carlo Pocker, seorang relawan dari Italia yang membantu merestorasi koleksi Museum Pusuaka Nias yang rusak akibat gempa bumi pada tahun 2005.
Pemeliharaan koleksi dan pelatihan untuk staf museum adalah tugas terus-menerus dan salah satu prioritas di Museum Pusaka Nias.
Artefak museum
Osa’osa Ni’oböhö
Ukiran dari batu yang menyerupai binatang dalam mitos rusa ‘böhö’ dan ‘lasara.’
Adu Sarambia
Patung ini tergolong patung leluhur yaitu patung seorang ibu bersama anak-anaknya “Sarambia.“
Kalabubu
Kalung untuk pendekar Nias
Öröba Si’öli
Rompi Besi
Toho: Si sara Ndrami ba Bulusa
Tiga Jenis Tombak
Baluse
Perisai
Tolögo
Pedang Tulögo merupakan barang prestisius bagi para bangsawan.
Adu Zatua
Patung Leluhur dibuat setelah orangtua meninggal dunia sebagai pengganti dirinya.
Naha Gamagama
Tempat perhiasan
Hasi Nifolasara
Peti Jenazah
Osa-osa Ni’oböhö
Tempat duduk/usungan bangsawan pada saat pesta jasa “owasa.”
Sukhu Eu
Sisir rambut yang terbuat dari kayu.
Tulo Gana’a
Timbangan Emas