Pendahuluan
Belakangan ini industri pariwisata kepulauan Nias kembali menggeliat bangun setelah mengalami mati suri selama belasan tahun. Masih segar dalam ingatan, dekade-dekade yang lalu Nias menjadi terkenal hingga ke mancanegara karena potensi wisatanya. Harapan akan bangkitnya industri pariwisata kepulauan paling barat di Sumatera ini tentu akan ikut mendongkrak jumlah pengunjung ke situs penting Nias Selatan yaitu omo nifolasara Bawömataluo.
Ribuan wisatawan telah menginjakan kaki masuk ke dalam omo nifolasara namun (mungkin saja) sedikit sekali yang tahu kalau rumah itu pernah disandingkan dengan nama seorang generasi ketiga yang mendiaminya yaitu Ruyu, putra Saönigeho, cucu Laowö. Untuk itu dalam tulisan ini akan dijelaskan secara singkat alasan logis penyebutan omo nifolasara Bawömataluo sebagai rumahnya Ruyu. Diharapkan tulisan ini memberi kontribusi dalam memperkaya informasi tentang warisan budaya Nias kepada para wisatawan.
Pembangunan Omo Nifolasara Bawömataluo
Keberadaan omo nifolasara Bawömataluo yang kini berusia sekitar 150 tahun di tengah-tengah deretan ratusan rumah tradisional lainnya bukan tanpa dasar. Pembangunan rumah ini tidak terlepas dari peristiwa penyerangan pasukan Belanda yang membumihanguskan Orahili Fau. Bencana itu membuat para si'ulu (bangsawan) Orahili dan rakyatnya mengungsi hingga akhirnya memutuskan bermukim di bukit yang sekarang dinamakan Bawömataluo. Di tempat baru tersebut mereka berpacu membangun lambang-lambang kebesarannya termasuk omo nifolasaranya untuk menunjukan kepada musuh bahwa mereka masih eksis bahkan jauh lebih kuat dari sebelumnya.
Sebagaimana tujuan awalnya, rumah ini dibangun bukan hanya sekedar tempat tinggal biasa, sehingga rancangan konstruksinya, interiornya, perabotannya dan setiap sudutnya benar-benar mendemonstrasikan kebesaran pemiliknya. Dan marwah itu masih terpancar sampai sekarang tak lengkang oleh waktu sekalipun fisiknya sudah semakin tua. Untuk rumah ini Laowö, sang pendirinya sekaligus pendiri Bawömataluo pernah melantunkan hoho (syair) demikian: 'ma iotamahögö Mazinö, ma isalogoi Maenamölö.'Dalam terjemahan bebasnya berarti: Rumah yang berhadap-hadapan dengan kawasan Mazinö dan menaungin kawasan Maenamölö. Satu kalimat yang dapat diinterpretasikan sebagai pesan hegemoni atas kedua kawasan dimaksud.
Penyebutan Omo Ruyu
Pada awal abad ke-20 penyebutan 'omo Ruyu' atau rumah Ruyu terhadap omo nifolasara Bawömataluo pernah populer baik di kalangan orang Nias maupun orang asing yang datang ke kepulauan Nias. Dalam beberapa dokumen khususnya foto-foto kuno terdapat catatan kecil yang menerangkan rumah tersebut milik Ruyu. Contohnya sebuah foto yang didokumentasikan tahun 1918 di bawahnya ada catatan yang berbunyi: ‘Woning van Radja Roejoe, Kampoeng Bawo Mataloeo, Z Nias’. Catatan yang sepertinya campuran bahasa Melayu-Belanda ini artinya, rumah raja Ruyu, kampung Bawӧmataluo, Nias Selatan. Dan dalam foto lain dari tahun yang berbeda tercantum tulisan: ‘Huis van den Radja Si Roejoe in kampong Bawomataluo’.
Jauh sesudah itu P. Johannes M. Hӓmmerle, seorang agamawan dan pemerhati warisan budaya Nias dalam bukunya Famatӧ Harimao masih setia menyebut omo nifolasara sebagai rumah Ruyu. Dan ketika Bawömataluo mulai menjadi destinasi wisata, para wisatawan lokal yang berkunjung ke sana hampir selalu mengajukan pertanyaan: “Dimanakah rumahnya Ruyu?” Nama Ruyu kembali dihubungkan dengan omo nifolasarasekalipun beliau dan keturunannya sudah tidak ada di dalamnya. Waspada Wau menambahkan bahwa di kemudian hari masyarakat Sirombu menamakan kayu beruasebagai eu nomo Ruyu (kayu rumah Ruyu). Dan diantara orang Lahusa-Gomo berkembang pertanyaan: no möi’ö ba mbanua Ruyu? (sudahkah anda ke kampungnya Ruyu?). Di sini nama beliau menjadi referensi tidak hanya untuk menyebut keberadaan rumahnya tetapi lebih luas menunjuk pada Bawömataluo secara keseluruhan.
Hal yang menarik di sini adalah ternyata penyebutan ‘rumah Ruyu’ sudah populer justru saat ayahnya, Saönigeho masih hidup dan tinggal di sana. Saönigeho sendiri merupakan pucuk pimpinan di antara para bangsawan yang memerintah (balö zi’ulu) dan dikenal sebagai ikon pejuang Nias yang konsisten melakukan konfrontasi melawan penjajah Belanda. Kala itu nama Saönigeho identik dengan kekuasaan, kepahlawanan, kekayaan dan segala kebesaran sebagai seorang si’ulu. Sosok Ruyu mampu masuk dalam tataran itu dan lebih lanjut kepadanya diberikan penghormatan dengan menyandingkan namanya atas rumahnya Saönigeho di saat Saönigeho sendiri masih hidup. Sejak awal Ruyu telah diperhitungkan oleh banyak pihak, termasuk orang-orang asing sebagai seorang tokoh besar sehingga mereka tidak ragu menghubungkan namanya dengan rumah warisan kakeknya dan yang saat itu sedang didiami oleh ayahnya. Nama Ruyu tidak tenggelam di bawah bayang-bayang kebesaran nama ayahnya. Ia menjadi populer bukan karena ia adalah putra penguasa, namun itu terbangun karena memang kapasitas dirinya yang mumpuni.
Kenapa Harus Disebut Omo Ruyu?
Sepanjang sejarahnya rumah dimaksud menyandang beragam sebutan. Pertama, nama aslinya adalah omo nifolasara atau rumah yang dipasangin lasara yakni sejenis hewan hybrid yang dipercaya sebagai pelindung suku Nias. Kemudian gelar kebesaran Laowö yaitu Famaedodanö disandingkan dengan kediamannya sehingga dikenal sebagai omo famaedodanö. Berikutnya rumah ini populer dengan nama omo Ruyu. Terakhir sebutan omo sebua diberikan baginya karena ukuran fisiknya yang jauh lebih besar dibanding rumah lainnya.
Istilah ‘omo nifolasara’, ‘omo famaedodanö’ dan ‘omo sebua’ kerap digunakan karena ada alasan sebagaimana dijelaskan di atas. Demikian pula ketika dalam objek yang sama digunakan istilah ‘omo Ruyu’ tentu ada alasan yang kuat – bukan karena latah atau sekedar dibuat-buat apalagi kalau istilah tersebut sengaja dipaksakan.
Pertama-tama harus diketahui bahwa penggunaan nama Ruyu atas rumah tersebut karena ada ikatan yang tak terpisahkan antara Ruyu dengannya. Ruyu dan juga abangnya, Alawa adalah si’ulu sejati, anak dari si’ulu Saonigeho Fau dan si’ulu Sibolono Dakhi – atau dalam ungkapan Niasnya mereka adalah ono ba zi’ulu (ayah dan ibu adalah asli si’ulu). Sebagai ono ba zi’ulu maka keduanya punya hak penuh atas segala yang dimiliki oleh Saönigeho dan istrinya termasuk rumah kediaman mereka. Ruyu dan Alawa berhak mengklaim rumah tersebut atas namanya. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh anak-anak yang lain.
Lebih jauh lagi, nama Ruyu punya ikatan kuat dengan rumah itu bukan hanya karena faktor keturunan. Itu sifatnya temporer. Lagipula bila dasarnya karena faktor keturunan semata maka jelas bukan hanya Ruyu yang bisa mengklaimnya tetapi juga ratusan keturunan lainnya dari Laowö-Saönegeho yang ada sampai hari ini bisa melakukan hal yang sama. Sesungguhnya ada faktor lain yang membuat nama Ruyu pantas melekat di rumah famaedodanö itu yakni kapabilitasnya sebagai seorang pemimpin pada masa itu.
Ruyu, diusianya yang terbilang masih muda, diduga antara 30-40 tahun telah berhasil menduduki puncak pemerintahan tradisional di Bawömataluo yakni sebagai balö zi'ulu. Ia menggantikan posisi yang pernah diduduki oleh dua orang besar yaitu ayah dan kakeknya sendiri. Hanya saja berbeda dengan para balö zi'ulu lainnya yang memerintah pada masa itu, Ruyu memiliki nilai lebih yaitu ia seorang yang cerdas dan punya latar belakang pendidikan Barat. Ia dikenal fasih berbahasa Belanda dan punya pergaulan yang luas dengan orang asing. Ruyu sang balö zi'ulu itu sarat dengan berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh rekan-rekan sejawatnya, sehingga tidak heran bila si'ulu Sorakoniha Dakhi, mertuanya dari Hilisimaetano, menggelarinya sebagai Siwasi’ulubö’ö (kualitasnya sebanding dengan 9 si’ulu lainnya). Itulah yang membuat beliau begitu spesial dan populer. Selain berstatus sebagai balö zi'ulu, Ruyu dikenal juga sebagai si’ulu rafe yaitu bangsawan yang punya otoritas berunding dengan pihak asing. Dikisahkan bahwa setiap pertemuan yang diselenggarakan antara wakil-wakil si’ulu Nias dengan pemerintah Belanda, tidak ada keputusan yang bisa diambil tanpa kehadiran dan persetujuan beliau. Ia diakui sebagai sosok yang penting. Dalam waktu yang tidak lama Ruyu sudah menjelma menjadi orang yang sangat berpengaruh. Tambahan, ternyata sejak mudanya Ruyu sudah menunjukan kemampuan sebagai diplomat ulung. Berkat diplomasinya ia berhasil membawa pulang ayahnya yang ditahan Belanda akibat konfrontasi berdarah di Hiligeho. Ia juga punya kontribusi dalam menghapus perbudakan. Menjelang akhir hidupnya ia pernah berupaya merintis pendidikan bagi rakyat biasa dan mewacanakan pembangunan kawasan terpadu di tanah pertaniannya.
Dengan segala predikat, kelebihan, kekuasaan dan ditambah warisan kebesaran serta kekayaan keluarganya maka adalah hal yang wajar bila pada masa itu Ruyu menjadi orang yang begitu penting dan berpengaruh. Konsekuensinya segala sesuatu yang bersentuhan dengan dirinya akan selalu dihubungkan dengan namanya - termasuk rumah kediamannya. Sekalipun dalam rumah itu bukan hanya Ruyu sendiri yang tinggal namun karena sosoknya yang sedemikian besar maka otomatis rumah itu lebih masuk akal bila dinamakan rumah Ruyu. Ketika orang mendengar atau melihat omo nifolasara maka sosok yang paling menonjol dari dalam rumah itulah yang pertama sekali diingat. Itulah Ruyu. Dan rumah itu akan lebih mudah disebut sebagai rumahnya Ruyu. Tidak mungkin yang lain.
Sepertinya orang-orang asing yang berkunjung ke Bawömataluo-lah yang mempopulerkan istilah ‘rumah Ruyu’ ini, sebagaimana terlihat dalam dokumen-dokumen peningggalan mereka. Bila pada waktu itu orang asing khususnya perwakilah pemerintah Belanda yang ada di kepulauan Nias dengan segala urusan politiknya datang ke Bawömataluo maka sudah pasti orang pertama yang wajib mereka temui adalah Ruyu. Sederhananya urusan dengan Bawömataluo adalah urusan dengan balö zi'ulu-nya dan dengan si’ulu rafe-nya, yang artinya urusan dengan Ruyu. Lalu bisa dibayangkan bila orang-orang asing itu hendak menemui Ruyu kira-kira alamatnya dimana? Tepat! Di omo nifolasara. Dan sudah pasti bagi mereka rumah dimaksud akan lebih mudah diingat sebagai omo Ruyu, sesuai dengan nama penguasa setempat. Bukan omo nifolasara, omo famaedodanö, apalagi omo sebua, satu sebutan yang baru muncul dekade lalu.
Faktor ketiga yang membuat nama Ruyu layak diabadikan atas omo nifolasara Bawömataluo yaitu jasanya yang telah ikut melestarikan keberlangsungan rumah tersebut hingga hari ini. Ruyulah orang pertama yang mengganti atap rumahnya dari daun rumbia yang rapuh dan rawan kebakaran menjadi atap seng yang jauh lebih kuat dan tahan lama. Untuk ukuran zaman sekarang apa yang beliau lakukan mungkin akan dianggap sebagai hal yang sederhana namun saat itu keputusannya merupakan keputusan yang sangat penting karena tidak lazimnya orang Nias menggunakan seng dalam properti bangunannya, ditambah lagi biayanya yang sangat mahal. Sekalipun demikian, Ruyu berani mengambil langkah yang tidak lazim dan membayar mahal untuk itu. Hasilnya rumah tersebut selama puluhan tahun terlindung dari guyuran air hujan – hujan yang sama yang telah menghancurkan rumah-rumah lainnya yang seusia dengannya. Ruyu jugalah yang untuk pertama kalinya memperkenalkan penggunaan besi dalam konstruksi tradisional Nias dengan memasang jara-jara (semacam jendela) dari besi yang masih ada sampai hari ini.
Faktor keempat yang tidak kalah penting sebagai alasan menamakan omo nifolasara sebagai rumah Ruyu adalah sumbangasih beliau yang membuat rumah itu semakin semarak dan anggun saja - molakhömi. Selama bertahun-tahun Ruyu begitu bersemangat mengisinya dengan benda-benda berharga mulai dari emas, senjata api, hingga berbagai jenis piring antik yang ia beli tiap kali berkunjung ke berbagai kota di luar Nias.
Penutup
Istilah ‘omo Ruyu’ lahir karena pengakuan. Sekali lagi, karena pengakuan. Pengakuan dari orang Nias sendiri dan juga dari orang asing yang dulu mengenal siapa sebenarnya pria yang bernama Ruyu. Istilah ini bukanlah kemauan dari Ruyu dan bukan pula karangan anak-cucunya di kemudian hari. Ruyu adalah orang yang telah mengaktualisasi dirinya secara maksimal. Ia tidak menyia-nyiakan hidupnya. Ia telah berkarya, dan sementara berkarya ia tidak sibuk sendiri menyematkan gelar-gelar kebesaran dalam namanya. Ia bukan tipe orang yang haus pujian apalagi suka memuji diri sendiri. Dunia di luar dirinyalah yang menilai, mengakui, memuji dan memberi penghormatan baginya. Ia dihormati dengan satu gelar kebangsawanan sebagai Siwasi’ulubö’ö, dan namanya diabadikan atas omo nifolasara sebagai ‘omo Ruyu’.
Oleh: Samuel Novelman Wau