Temu Pusaka Indonesia

Temu Pusaka Indonesia, 5 S/D 9 Oktober 2011, ”Bukan Hal Baru”

Perjalanan pada pagi 5 Oktober 2011 awalnya membuat nyali sedikit ciut. Hujan deras dan berita tentang jatuhnya pesawat Cassa jenis 212 di sekitar hutan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut), NAD, terus menghantui, namun tekad untuk menghadiri Temu Pusaka Indonesia 2011 di Medan & Samosir mengalahkan segalanya. Walau meleset dari waktu tempuh Gunungsitoli-Medan yang biasanya hanya 50 menit.

 
“Malam Sahabat Pusaka” yang penyelenggaraannya bertempat di Jl. Balai Kota-Medan, adalah untaian acara yang mengisi Temu Pusaka Indonesia, dengan menampilkan Musik Tradisional Batak yang mendapat tepuk tangan riuh dari hadirin diselingi dengan tarian Melayu. Sambil menikmati makan malam, para peserta diajak untuk menyaksikan tayangan film “Medan Tempo Dulu dalam Bingkai Masa Kini".
 
Setelah check-in di Hotel Dharma Deli, sore tanggal 5 Oktober 2011 utusan dari Museum Pusaka Nias menyerahkan beberapa patung, bola nafo dan buku-buku karya P. Johannes M. Hammerle, OFMCap (Direktur Museum Pusaka Nias) kepada Panitia Penyelenggara untuk di pajang pada pembukaan acara tersebut, sangat di sayangkan, kegiatan ini pada akhirnya ‘berlalu’ tanpa jejak.
Pembukaan yang dihadiri oleh para petinggi BPPI (Badan Pelestari Pusaka Indonesia) antara lain I. Gede Ardhika, Pia Alisyahbana, Catrini Pratihari Kubontubuh, Eka Budianta, beberapa undangan dari Negara tetangga India, Australia, Malaysia, Belanda, Singapura serta peserta perwakilan dari seluruh wilayah Indonesia yang berjumlah 92 orang. Dalam sambutannya I. Gde Ardhika sebagai Ketua BPPI mengibaratkan BPPI dan masyarakat lokal sebagai sebuah "orkestra" yang masing-masing memiliki andil hingga menghasilkan suara atau penampilan yang memukau. Pada kesempatan ini, para peserta menyaksikan Pameran Karya & Kriya serta Tenun Tradisional Batak persembahan dari Mardin Sihombing, seorang desainer muda yang kreatif menumbuhkan dan membina para pengrajin tenun di daerah Batak bahkan di beberapa daerah di Indonesia seperti Suku Baduy, bahkan berkeinginan untuk mengunjungi Nias.
 
Perjalanan selanjutnya menuju Samosir. Sungguh banyak Pusaka Alam, Pusaka Saujana dan Pusaka Budaya yang tumbuh dan berada di masyarakat local, yang diharapkan pelestariannya dari masyarakat setempat. Berbagai upaya kerja sama sedang dikembangkan terutama dengan BPPI dan pemerintah.
 
Esoknya, Minggu 9 Oktober 2011, setelah mengunjungi beberapa bangunan bersejarah di kota Medan, acara berakhir di Rumah Tjong A Fie di Jl. Jend. A. Yani No. 105, yang pendiriannya pada tahun 1900 dan saat ini pengelolaannya dilakukan oleh generasi ke-20 Tjong A Fie. Kita dapat menemukan campuran budaya Tionghoa-Melayu pada ukiran-ukiran yang terdapat pada hampir seluruh dinding dan ornamen lainnya. Warna merah, kuning, putih dan hitam adalah warna-warna dominan yang memliki arti filosofi menurut kepercayaan Cina sebagai akar budaya Peranakan Cina.
 
Parade Budaya yang dikoordinir oleh Mardin Sihombing di senja hari itu adalah puncak acaranya. Iring-iringan peserta karnaval dengan kostum berbagai pakaian daerah di Indonesia bergerak dari rumah Tjong A Fie menuju Kantor Pos Medan yang genap berusia 100 tahun sejak didirikan pada tahun 1911 dengan arsitek bernama Snufy sekitar lapangan Merdeka Medan.
 
Walau baru pertama kali mengikuti acara seperti ini, namun bagi utusan dari Museum Pusaka Nias ini bukan hal baru, karena apa yang menjadi ‘perbincangan’ sepanjang hajatan besar itu, yakni aktifitas Pengelolaan Desa/Kota Pusaka telah lebih dahulu dilakukan oleh Museum Pusaka Nias sebagai lembaga nirlaba dengan melakukan rehab terhadap 155 rumah adat yang sumber dananya diperoleh dari mitra Museum Pusaka Nias termasuk BPPI sendiri.
 
Oleh: Lusia Sutrisni Telaumbanua.